Awan. ber·a·wan: diliputi awan

by astridirma

Tidak pernah saya biasa saja waktu menatap awan. Sesuatu yang minimal ada di ketinggian 2000 meter, tapi terlihat seperti menggantung di depan muka. Sungguh Tuhan Maha Random dengan segala keindahanNya. Menciptakan air sebagai sumber hidup yang dibekukan dalam wujud kristal kristal cantik dan diutusNya membentuk beberapa koloni yang menggantung di atmosfer.

Pada saat cuaca cerah, mentari sumringah membagi sinarnya dalam jutaan spektrum warna. Atmosfer kewalahan dengan kuatnya gelombang kebiruan, hingga lantas menelan seluruhnya. Kemudian langit terlihat berwarna sama. Dengan gagahnya bergumpal gumpal awan dalam koloni besar dan kecil membentuk siluet hewan, benda mati hingga rupa kekasih. Berjajar jajar, bertumpuk tumpuk, saling tindih, melayang, pecah dan tersenyum. Lebih tepatnya memantulkan senyum bumi, yang bertahun tahun mencintainya diam diam. Hanya mampu memandang dari kejauhan, tanpa tahu bahwa awan memiliki perasaan yang sama. Dipeluknya bumi siang dan malam, tidak rela kulitnya dibakar matahari yang kadang kadang kejam. Awan dan bumi adalah dua dari ratus ribuan yang patuhnya dipuji Tuhan. Cinta keduanya berbalas dengan air mata yang disebut manusia hujan. Kalau sudah menangis, bumi membelai wajah awan dengan uap uap air sungai dan lautnya. Hingga sampai kapanpun keduanya tidak merasa telah dipisahkan pencipta mereka.

Tidaklah kamu melihat bahwa Allah mengarak awan, kemudian mengumpulkan antara (bagian-bagian)nya, kemudian menjadikannya bertindih-tindih, maka kelihatanlah olehmu hujan keluar dari celah-celahnya… (An Nuur: 43)

Saya bisa berjam jam memanjakan mata dengan melihat awan. Entah ia yang cantik karena langit atau sebaliknya. Bumi mengenal langit sebagai nampan segala gas dan udara, ibu dan rumah bagi troposfer, stratosfer, mesosfer, termosfer, ionosfer, dan eksosfer. Namun, awan menceritakan bahwa langit adalah kanvas tak bertepi, tempat Tuhan melukis dan menulis. Yang mengagumkan dari persinggungan otak kiri dan kanan adalah bahwa manusia mengiyakan keduanya. Walau sebagian bersikeras menyebut langit sebagai atap rumah mereka dan tempat menggantung angan bagi sebagian yang lain.

Tuhan Yang Maha Sibuk melukisnya setiap jam, setiap hari. Dari warna pekat, putih, kebiruan, merah muda, jingga hingga kembali temaram. Atas dasar itu, semua pengaduk warna di kanvas mereka masing masing, yakin bahwa hijau dan semua warna daun pohon tidak akan minder berdamping dengan seluruh warna langit. Pohon pohon berdiri tegak, menjulang pongah dengan kaki yang mengakar di tanah, enggan beranjak. Mahkotanya disisir angin dalam background langit di segala cuaca.

Awan yang baik hati. Kali ini saya memandangi koloni besar di atas saya berdiri. Apa yang sedang gumpalan kapas itu lakukan. Apakah upacara penghormatan pada langit yang lagi lagi sedang dilukis, atau saling bergosip dan membuang buang senyum pada bumi mereka yang tampan ini. Awan awan yang baik hati. Walaupun rupanya bumi juga mencintai matahari, tidak berkeberatan saling berbagi.